|
Munson-Lyman Misionaris yang Terlupakan di Tanah Batak |
Munson-Lyman Misionaris yang Terlupakan di Tanah Batak ..... Hari yang indah. Pada tanggal 9 Juli 1833, para jemaat di Boston, Amerika Serikat, membuat perjamuan gereja. Dalam pesta itu, semua perhatian orang tertuju pada dua pendeta muda, Samuel Munson dan Henry Lyman. Esok, mereka akan berangkat membelah samudera menuju sebuah negeri jauh yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Tidak ada jadwal pasti untuk kembali.
Negeri itu bernama Hindia Belanda, yang kelak akan menjadi tanah pekuburan mereka sendiri. Munson dan Lyman menumpang kapal bernama “Dunkan”, dengan sebuah acara pelepasan yang mengharukan dari anggota jemaat Gereja Boston. Keduanya melambai dan menatap para jemaat yang berbaris di bibir pelabuhan, hingga Benua Amerika lenyap sama sekali di belakang.
Setelah berlayar selama 105 hari, Munson dan Lyman melihat sosok Pulau Jawa, dan kapal mereka merapat ke Batavia. Di kota yang sedang berkembang ini, keduanya mendapat sambutan dari seorang rohaniawan berkebangsaan Inggeris, Pendeta Madhurst. Untuk memudahkan komunikasi selama dalam misi, kedua pendeta yang baru tiba itu segera mempelajari bahasa Melayu sambil membuka praktik pengobatan. Memang, selain dibekali pengetahuan teologia, mereka juga dibekali keterampilan medis. Dari surat-surat yang mereka kirimkan ke Boston, diketahui bahwa mereka sangat sibuk dengan para pasien yang datang tiap hari.
Setelah menguasai Bahasa Melayu, Munson dan Lyman mulai mengurus izin pada pemerintah Belanda untuk keberangkatannya ke Tanah Batak. Gubernur Jenderal Pemerintahan Belanda di Batavia meluluskan permintaan mereka. Tanah Batak adalah impian Munson sejak ia sekolah pendeta di negerinya. Ia mendapatkan literatur yang menceritakan keindahan kawasan ini, berikut masyarakatnya yang masih menganut kepercayaan kuno, sipelebegu (sejenis animisme).
Tepat pada hari Minggu, 6 April 1834, Pendeta Madhurst mengadakan perjamuan suci untuk keberangkatan kedua pendeta ini. Dua hari kemudian, Munson dan Lyman berangkat meninggalkan anak isteri mereka di Batavia dengan menumpang kapal besar “Mederika”. Mereka berada di antara para serdadu Belanda beserta tawanannya.
Keduanya kagum melihat keindahan Pulau Sumatera yang terdiri dari pegunungan, lembah, dan hutan yang sangat luas. Tapi pelayaran kali ini tidak terlalu ramah. Gelombang besar menghantam lambung Mederika. Seisi kapal diaduk-aduk. Para penumpang terpental dan kepanikan pun terjadi. Seorang tawanan Belanda menemui ajalnya setelah terhempas pada tiang layar. Mayatnya kemudian dibuang ke laut.
Pada 19 April 1834, atau sebelas hari sejak keberangkatan dari Jawa, mereka tiba di Bengkulu. Munson dan Lyman tinggal di sini selama 4 hari. Lalu pada tanggal 26 April 1834, mereka sudah menjejakkan kaki di Padang. Pendeta Ward menyambut keduanya. Munson dan Lyman mendapat banyak informasi penting dari beliau, karena Ward sudah pernah mengunjungi Tanah Batak pada tahun 1824. Menurut Pendeta Ward, orang Batak adalah masyarakat yang ramah tamah. Pendeta Ward juga menceritakan penyambutan raja-raja Batak terhadap dirinya yang disertai tarian (tortor).
Akhirnya, pada 17 Juni 1834, Munson dan Lyman tiba di Tanah Batak untuk pertamakalinya, yakni Sibolga. Tuan Bonnet, seorang pejabat Belanda, menyambut mereka dengan hangat. Dia bahkan memberikan perlengkapan untuk keberangkatan mereka selanjutnya ke arah Silindung. Dalam perjalanan, Munson dan Lyman disertai seorang penerjemah, tukang masak, polisi, dan 8 pendamping lain. Rombongan kecil ini berangkat pada suatu sore yang teduh tanggal 23 Juni 1834, menembus belantara, lembah, dan pegunungan yang bergelombang, selama 6 hari. Kadang-kadang, mereka harus merangkak seperti ekspedisi kelompok pecinta alam ketika melalui medan yang sangat sulit.
Rura Silindung yang mereka tuju adalah sebuah lembah yang datar dan indah di sebelah utara Tapanuli.
Dari puncak-puncak Bukit Barisan, panorama lembah hijau ini mampu menggetarkan jiwa siapapun yang memandangnya. Kelak, di salah satu puncak bukit pinus, pendeta sederhana asal Jerman yang sangat dihormati orang Batak, Ingwer Ludwig Nommensen, memandang dataran itu, lalu berlutut menatap langit seraya menyampaikan satu permohonan dengan bibir yang gemetar. Doa itu sangat terkenal hingga hari ini. Tuhan, hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa Batak untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin. Bukit itu kini dinamakan Siatas Barita. Di puncaknya, pemerintah mendirikan satu tugu relijius sebagai peringatan pada Pendeta Nommensen, yakni Salib Kasih.
Ketika sampai di kampung Raja Suasa, Pendeta Munson dan Lyman menerima saran dari Raja Suasa agar mereka menginformasikan lebih dulu kedatangannya di Silindung. Saat itu, suasana di Rura Silindung (sekarang Kota Tarutung) memang masih diwarnai kemelut akibat ekses dari Perang Bonjol. Namun Munson dan Lyman memilih menghemat waktu agar segera tiba di Silindung. Tepat enam hari sejak berangkat dari Sibolga, satu sore yang indah menyambut mereka di pinggiran sebuah kampung. Munson mengutus penerjemah untuk mengetahui keadaan di kampung tersebut sebelum memasukinya. Namun setelah beberapa jam, si penerjemah tak kunjung kembali. Menimbang cerita Pendeta Ward, kedua misionaris itu tidak curiga kalau-kalau sesuatu telah terjadi.
Dalam keadaan yang belum dapat memutuskan tindakan selanjutnya, tiba-tiba semak belukar di sekitar mereka terkuak dan berderak. Serombongan orang muncul dari balik pepohonan seraya berteriak, “Mulak, mulak ma hamu!” (Pulang, pulanglah kalian!). Kedua missionaris itu terkejut, dan pada saat yang sama mereka menyadari bahwa para pengikut lain telah menghilang entah kemana, kecuali Jan.
Munson dan Lyman, dengan bahasa isyarat sesanggupnya, berupaya menggambarkan maksud tulus kedatangan mereka ke daerah itu. Tapi komunikasi tampaknya tidak nyambung, dan terjadilah salah pengertian. Melihat gelagat yang makin buruk, tiba-tiba Jan mengambil bedil yang dibawa Munson dari Padang, dan hendak menembakkannya ke arah orang ramai itu. Tindakan itu dicegah Munson. Tapi sayang, pada saat yang hampir bersamaan, terdengar letusan bedil dari arah lain dan Pendeta Lyman roboh bercucuran darah.
Detik-detik berikutnya makin menegangkan dan memperkecil peluang untuk saling pengertian. Munson yang malang masih mencoba memberi isyarat dengan menunjukkan Alkitab yang dibawanya, tapi suasana terlanjur panas dan chaos. Ia dipukuli hingga jatuh tanpa melawan maupun menunjukkan rasa takut. Jan melarikan diri dan bersembunyi di kerapatan hutan. Ia berhasil lolos dan kembali ke Sibolga dalam keadaan payah, lalu menemui Tuan Bonnet. Informasi tentang insiden tersebut digambarkan oleh Jan.
Dari versi masyarakat Batak sendiri, kelompok yang terlibat dalam penyergapan di Puncak Lobu Sisakkap, Desa Dolok Nauli, Adiankoting, tersebut adalah Raja Panggalamei Lumbantobing dan pengikutnya. Raja Panggalamei digambarkan sebagai seorang laki-laki perkasa dengan tinggi badan lebih dari 2 meter. Tenaganya luar biasa hingga dapat melemparkan tanah dengan cangkul sejauh 3 sampai 8 km. Saat itu, sebagai penjaga wilayah, Raja Panggalamei mendapat informasi bahwa orang Belanda (si bontar mata) sedang menuju Tanah Batak dengan tujuan memulai penjajahan. Raja-raja turunan Siopat Pisoran lantas berembuk dan membuat kesepakatan untuk memanfaatkan kekuatan Raja Panggalamei untuk menjaga Puncak Lobu Sisakkap sebagai perbatasan dan pintu masuk dari selatan menuju Rura Silindung.
Keturunan Raja Siopat Pisoran adalah penghuni terbesar kawasan Rura Silindung. Ketika Munson dan Lyman tiba di Puncak Lobu Sisakkap, Raja Panggalamei dan pengikutnya langsung menduga bahwa mereka adalah bagian dari rencana awal Pemerintah Belanda yang ingin menguasai Tanah Batak. Setelah penangkapan, terjadilah komunikasi yang tidak saling memahami.
Konon, Raja Panggalamei yang bertanya dengan nada dan ungkapan-ungkapan yang keras khas Batak, telah membuat penerjemah Munson ketakutan dan lari terbirit-birit. Karena tak memiliki penerjemah lagi, Munson mencoba menenangkan suasana dengan isyarat. Ia menyerahkan sepucuk senjata api yang dibelinya dari salah satu toko di Padang dengan maksud memberikan pesan damai. Tapi makna isyarat itu gagal ditangkap oleh Raja Panggalamei, dan ia malah menduga si bontar mata (si mata putih) itu mau menembak dirinya, sehingga ia cepat-cepat angkat pedang dan mengayunkannya pada dua orang berkulit putih itu.
Kedua versi tersebut tentu saja masih membutuhkan penelitian yang lebih rinci agar Sejarah Batak dapat didudukkan pada porsi yang sebenarnya. Bonnet sendiri, seusai menerima kisah Jan, menyimpulkan bahwa Munson dan Lyman telah mati martyr saat menjalankan misi suci di Lobu Pining Adiankoting. Bagi orang Batak Kristen masa kini, kematian mereka adalah pengorbanan besar dalam misi keagamaan terhadap Tanah Batak yang masyarakatnya saat itu masih menganut sipelebegu. Masyarakat Batak Kristen mengenangnya sebagai pendeta yang berjasa pada misi kekristenan di Tapanuli. Sebuah monumen kini dibangun di tengah perladangan yang sepi di Lobu Pining, Kecamatan Adiankoting, di mana tulang belulang mereka dikebumikan. Monumen itu sekitar 20 km dari Kota Tarutung ke arah Sibolga.
Samuel Munson lahir tanggal 23 Maret 1804 di New Sharser Maine, sedang Henry Lyman lahir tanggal 23 November 1809 di Northhampton, Amerika Serikat. Dari catatan sejarah, kedua missionaris ini berbeda karakter dan intelijensi sejak masa kecilnya. Munson adalah seorang anak yang pintar dan cerdas, sementara Lyman seorang anak yang sampai masa remajanya menunjukkan sikap yang sangat anti terhadap keagamaan walaupun pada akhirnya masuk ke sekolah pendeta dan bertemu dengan Samuel Munson. Setelah tamat dari sekolah pendeta di Androver tahun 1832 dan menikah pada tahun 1833, mereka dipersiapkan sebagai missionaris menyebarkan berita Injil ke Tanah Batak yang indah tiada tara. *)